Banyak hal yang bisa dipelajari dari kegagalan, termasuk kegagalan struktur bangunan. Dengan mengetahui penyebab-penyebabnya, bisa diharapkan akan tahu bagaimana menghindarinya. Dalam hal konstruksi bangunan memang unik, karena ia merupakan produk dari serangkaian kegiatan-kegiatan dari berbagai disiplin keahlian, mungkin dari berbagai perusahaan, yang secara kontraktual terpisah. Dus tanggung jawabnya juga tidak terpusat pada satu pihak. Ini yang mungkin membuat rumit dalam menentukan siapa yang sebenarnya bertanggung jawab, jika terjadi kegagalan struktur atau konstruksi bangunan. Tapi jika terjadi kegagalan, korban pertama adalah pemilik proyek.
Menurut Ir. Mardiana Daoed -perencana struktur senior dari PT. Ingenium Consultants, konstruksi bangunan gedung yang baik harus memenuhi 3 kriteria : kuat, kaku, dan stabil. Oleh karenanya, suatu bangunan gedung dikatakan cacat atau mengalami kegagalan konstruksi, bila unsur-unsur struktur tidak memenuhi salah satu atau keseluruhan kriteria di atas.
Menurutnya, penyebab kegagalan struktur bisa dikategorikan menjadi dua jenis : akibat ulah manusia dan alam. Akibat ulah manusia, bisa disengaja atau tidak. Misalnya, salah perencanaan, pelaksanaan, atau penggunaan. Ulah alam, antara lain akibat angin yang kencang yang melebihi peraturan yang ada, atau gempa bumi yang besar, dan kebakaran.
Kriteria kegagalan struktur meliputi 3 hal. Pertama, banguan itu tidak kuat, artinya semua tegangan-tegangan yang terjadi pada penampang strukturnya, melebihi yang ditentukan. Bangunan itu tidak kaku, misalnya terjadi lendutan yang berlebihan, plat lantai yang bergetar dan sebagainya. Dan bangunan itu tidak stabil, bila terjadi tekuk pada kolom yang berlebihan dan penurunan pondasi. “Suatu bangunan yang tidak memenuhi salah satu kriteria itu sudah bisa dianggap gagal, apalagi tidak memenuhi tiga-tiganya,” jelasnya.
Bangunan tidak dirancang terhadap gempa
Mardiana pernah menghadapi kasus kegagalan struktur yang sangat parah, disebabkan oleh interpretasi terhadap data penyelidikan tanah yang kurang tepat. Bangunannya terdiri dari 2 lantai, menggunakan pondasi dangkal yang duduk pada kedalaman -1m di atas tanah urugan setebal +/- 2m yang dipadatkan kurang sempurna. Seharusnya pemadatan dilakukan minimal 90 persen standar Proctor, tapi dalam spek hanya ditetapkan 75 persen. Akibatnya, pondasi bangunan tersebut turun, menyebabkan kegagalan struktur atas yang sangat parah (bangunan miring tidak beraturan). Akibatnya, kalaupun bisa diperbaiki akan memerlukan biaya sama dengan membangun gedung baru. Ia kemudian menyarankan kepada pemiliknya untuk membongkar saja.
Umumnya untuk poryek pemerintah, pekerjaan perbaikan tidak boleh melebihi 40 persen dari biaya jika membangun baru. Untuk perbaikan gedung Sarinah yang terbakar, juga sekitar 40 persen.
Dari pengalamannya, lebih mudah memperbaiki struktur yang gagal akibat kebakaran, dibanding akibat perencanaan yang salah. Karena pada struktur-struktur gedung yang terbakar umumnya perencanaannya sudah betul, sehingga yang dilakukan hanya mengganti beton lama dengan sistem gunite, tanpa menambah pembesiannya. Jika kegagalan akibat kesalahan perencanaan, pekerjaan perbaikan menjadi lebih rumit karena harus menambah pembesiannya.
Ia pernah menghadapi kasus, bangunan 12 lantai di Jakarta, yang ternyata dalam perencanaan boleh dikatakan sama sekali tidak memperhitungkan gempa. Mula-mula para penghuni kantor mengeluh adanya getaran yang kuat, ketika di sebelah bangunan tersebut ada pekerjaan pemancangan. Setelah diteliti, di samping perencanaannya memang tidak dihitung terhadap beban gempa, tebal plat lantainya (untuk ukuran 6m x 6m) hanya 10 cm, padahal dalam spek ditetapkan 12 cm.
Setelah dievaluasi dengan peraturan gempa yang berlaku, ternyata perlu dilakukan perbaikan baik pada struktur atas maupun pondasinya. Untuk itu perlu dilakukan penebalan pada lantai, perkuatan pada balok-balok dan kolom-kolom maupun pondasinya. Untuk perbaikan pondasi ada dua alternatif : dengan sistem grouting dan under-pinning. Namun setelah dipelajari, pelaksanaan underpinning ternyata sulit dan beresiko tinggi, di samping biayannya mahal karena belum mampu ditangani kontraktor lokal. Akhirnya dipilih metode grouting, yang nampaknya lebih cocok karena tanah setempat pasir. Grouting dilakukan di sekitar pondasi tiang (bored pile diameter 80 cm), hingga kedalaman tiang.
Sebagian besar kasus-kasus kegagalan struktur yang pernah ditangani Mardiana, adalah akibat kegagalan pondasi. Memang biaya untuk perbaikan akibat kegagalan pondasi, menurutnya, lebih mahal dibanding jika kegagalannya hanya di struktur atas. Perbaikan akibat kegagalan struktur atas hanya sekitar 10-15 persen dari biaya jika membangun baru. Dalam hal kegagalan pondasi bisa sampai 40 persen, bahkan ada yang mencapai 100%. demikian parahnya, sehingga untuk kasus ini lebih baik dibongkar saja kemudian dibangun yang baru. Sebenarnya biaya untuk perbaikan strukturnya hanya sekitar 40-50 persen dari biaya perbaikan total. Tapi porsi biaya struktur itu lebih besar dibanding membangun gedung baru, yang umumnya berkisar antara 25-30 persen.
Struktur Kiln yang turun
Pada wawancara terpisah dengan Ir. Gouw Tjie Liong, M.Eng., yang telah berpengalaman dalam menangani masalah-masalah geoteknik mengemukakan beberapa kasus kegagalan struktur yang pernah ditanganinya. Pertama, tahun 1985 ia pernah terlibat dalam perbaikan struktur kiln (tungku pembakar keramik) di daerah Tangerang, Jawa Barat. Dua tungku di sebuah pabrik keramik saniter tersebut mengalami penurunan, yang jika berlanjut akan menyebabkan tidak berfungsinya tungku tersebut secara baik. Dan uniknya, dalam perbaikan itu tungku tidak boleh berhenti beroperasi, karena jika berhenti akan menimbulkan kerugian yang besar bagi pabrik tersebut. Yaitu, pada saat itu bisa mencapai Rp 50 juta/tungku perbulan. (Baca Konstruksi, edisi Agustus 1985).
Sebenarnya, menurut Gouw, kecuali bahwa perencanaan itu kurang memperhitungkan pengaruh temperatur tungku terhadap tanah di bawahnya, tidak ada masalah dalam perencanaan strukturnya, dari aspek pembebanannya sudah baik. Pondasi plat yang menopang struktur tersebut juga telah diperhitungkan dengan benar. Namun, akibat adanya dua tungku yang berjejeran, menyebabkan suhu dalam tanah menjadi cukup tinggi. Dari penelitian yang dilakukan, ternyata penurunan tungku tersebut memang bukan karena pembebanan. Akibatnya, menyusutnya tanah di bawah pondasi kiln, karena pengaruh temperatur yang tinggi. Khususnya di bagian tengah kiln, tempat terjadinya pembakaran, dan ruang di antara kedua tungku dimana suhunya mencapai tertinggi. Lalu tungku itu miring ke arah dalam. Besarnya penurunan mencapai 8 cm, dengan perbedaan penurunan 3-5 cm.
Perbaikan struktur tungku, dilakukan dengan sistem grouting, menggunakan sistem tube a manchettes, tanpa mengganggu operasinya. Pekerjaan grouting dilakukan secara terkontrol, kalau tidak justru bisa memperbesar kemiringan kiln. Tujuan grouting untuk mencegah penurunan lebih lanjut, karena saat itu tungku memang masih berfungsi, namun kalau turun lagi maka proses pembakaran keramik di dalam akan terganggu, sebab di dalamnya ada rel tempat lewat bahan keramik. Di samping itu ternyata grouting tersebut juga bisa sedikit mengurangi kemiringan tungku, namun tidak bermaksud mengembalikan posisi tungku seperti semula. “Saya kira itu kegagalan perencanaan pondasi, yang tidak memikirkan pengaruh suhu yang tinggi dari tungku,” jelasnya.
Ia mengakui, kalau tungku tersebut menggunakan sistem pondasi tiang, maka kasus penurunan tersebut tidak terjadi. Tapi hal itu memang tidak perlu dilakukan. Untuk mengantisipasi pengaruh temperatur, tetap bisa menggunakan pondasi plat, dengan memperkuat struktur plat sehingga penurunan yang terjadi seragam, atau menggunakan bahan peredam panas (isolator).
Gouw memberi contoh lain, kegagalan yang berkaitan dengan galian untuk besmen pada sebuah bangunan tinggi di Jakarta. Konstruksi sheet pile yang dibuat tidak cukup dalam, pihak konsultan yang semula menetapkan pemancangan sedalam 18m mengubah menjadi 14m (untuk 1 ½ besmen). Tapi kenyataannya di lapangan dipancang 12m. Dan celakanya lagi, kedalaman galian yang semula hanya untuk 1 ½ besmen diubah menjadi 3 besmen, dengan kedalaman sheetpile yang masih sama.
Sewaktu penggalian mencapai kedalaman 4,5 m, tampak sheetpile bergerak miring 25 cm. Namun nampaknya pemilik bangunan tidak mau memperdulikan, kendati sudah diingatkan, yang akhirnya sheetpile di kedua sisi roboh. Di sini Gouw menilai, di samping karena ada unsur penyimpangan dalam pelaksanaan, namun konsultan yang berani mengurangi kedalaman sheetpile itu tidak memperhitungkan terjadinya seepage (rembesan) dari luar ke dalam galian. Akibatnya tekanan pasif tanah sekitarnya akan berkurang. “Hal ini sering dilupakan dalam perhitungan-perhitungan,” ujarnya.
Menurut Gouw, masalah penyimpangan data penyelidikan tanah juga sering terjadi, akibat penanganannya yang tidak profesional. Misalnya, karena biaya yang terbatas maka ada sampel tanah yang dikirim lewat paket jasa kurir, padahal mustinya sampel tanah itu harus diperlakukan secara hati-hati. Belum lagi tentang penyimpangan dalam prosedur-prosedur pengambilan sampel maupun pemakaian alat-alatnya.
Akibat penyimpangan hasil penyelidikan tanah bisa menyebabkan kegagalan, atau menghasilkan desain yang terlalu konservatif. Kalau seorang geotechnical engineer mengetahui ada penyimpangan dari data penyelidikan tanah, ia akan mengambil ke arah yang lebih konservatif. Tapi sejauh mana? Yang celaka jika ia tidak tahu, maka bisa menyebabkan kegagalan struktur yang didesain.
Tidak Mudah
Tentang penentuan pihak mana yang salah dalam suatu kasus kegagalan struktur, menurut Mardiana, jika dokumen-dokumen perencanaannya lengkap, akan lebih mudah ditelusuri, apakah itu kesalahan perencanaan ataupun pelaksanaan. Ia mengakui, jika disebabkan oleh kesalahan pelaksanaan, setidaknya ada dua pihak yang terkait, yaitu kontraktor atau MK/Pengawas. Untuk menentukan seberapa jauh tanggung jawab masing-masing itu tidak mudah.
Yang menyangkut dengan metode pelaksanaan konstruksi, menurutnya, sebenarnya dalam tahap desain sudah harus dipertimbangkan. Seperti diketahui, untuk gedung tinggi di DKI Jakarta, khususnya untuk pekerjaan substruktur (galian, dewatering, pekerjaan pondasi dan besmen) yang rumit, TPKB DKI sering meminta penjelasan yang lengkap, mengenai metode pelaksanaan kepada konsultan. Jadi, disini jelas, bahwa dalam tahap perencanaan Konsultan sudah harus mempertimbangkan metode pelaksanaannya.
Tapi yang sering menjadi masalah, ternyata dalam pelaksanaan yang melakukan pengawasan pekerjaan konsultan lain. Metode pelaksanaan yang telah dipertimbangkan oleh Konsultan biasanya tidak diikuti lagi. Untuk kasus-kasus seperti ini, sebaiknya sebelum pelaksanaan dimulai, Konsultan Pengawas/MK meminta kontraktor membuat proposal metode pelaksanaan yang akan digunakan. Proposal ini sebaiknya dievaluasi apakah sudah cocok dengan kondisi lapangan. Dan yang paling penting, metode pelaksanaan ini harus dapat dikerjakan dan diikuti secara konsisten, agar di kemudian hari kelalaian terhadap metode pelaksanaan tersebut tidak menimbulkan kegagalan struktur.
Pendapat senada diungkapkan oleh Gouw, bahwa dalam menentukan siapa yang salah dalam suatu kegagalan struktur, memang merupakan masalah yang kompleks. Urutan pelaksanaan suatu pekerjaan bisa juga menyebabkan masalah, dalam hal demikian tanggung jawab kontraktor dan MK sangat besar. Gouw menilai kadang-kadang MK hanya menitikberatkan pada masalah waktu, sementara aspek-aspek teknis yang berkaitan dengan suatu dampak yang bisa ditimbulkan oleh suatu urutan pelaksanaan yang salah, kurang diperhatikan.
Menyinggung tentang fee konsultan, menurut Mardiana, khususnya untuk proyek-proyek pemerintah disamakan dengan fee seperti mendesain bangunan baru. Padahal untuk perbaikan atau renovasi akibat kegagalan struktur, tingkat kesulitannya lebih tinggi. Ia berpendapat, seharusnya prosentasi fee untuk perbaikan lebih besar dibandingkan mendesain bangunan baru. Sedangkan untuk pekerjaan penelitian, menggunakan sistem billing rate.
Sumber: Majalah Konstruksi, Nomor 185, September 1993